Pemerintah Kota Pekalongan beberapa waktu lalu, pada hari jadi Kota Pekalongan 1 April 2022, telah menetapkan sejumlah jalan baru. Nama-naman jalan baru tersebut di ambil dari para tokoh lokal. Pemberian nama itu, merupakan bentuk penghargaan kepada tokoh-tokoh lokal yang telah meninggal dunia, yang memiliki jasa besar terhadap Kota Pekalongan, dengan mengabadikan nama-nama mereka sebagai nama jalan.
Nah, ternyata nama tokoh yang digunakan sebagai nama jalan di Kota Pekalongan, sudah ada sejak jaman Hindia Belanda. Kala itu ada nama salah satu saudagar batik yaitu Haji Mashoeri yang namanya telah tetapkan menjadi jalan, yaitu Mashoeristraat. Lokasi jalan tersebut berada di jalan Serayu sekarang.
Mashoeristraats (jalan Mashoeri) merupakan jalan penghubung antara Heerenstraat (Jl.Diponegoro) dan Residenweeg (Jl.Progo). Pengunaan nama tokoh sebagai nama jalan pada Jaman Belanda sangatlah jarang. Penamaan jalan pada Masa Hindia Belanda, Oliver Johannes Raap, penulis buku “ Kota Di Jawa Tempeo Doeloe” mengungkapkan, kata jalan belum banyak di kenal masyarakat, bahkan papan nama jalan baru muncul sekitar tahun 1920an, seiring sistem jalan resmi yang sudah berlaku di Eropa dan mulai diterapkan di Hindia Belanda.
Penamaan jalan saat itu masih mengunakan bahasa Belanda, seperti kata straat (jalan berbatu-batu), weg (jalan utama), laan (jalan indah yang ditanami barisan pohon) boulevard (jalan raya bergengsi lebar & panjang). Menurut Oliver, dalam bahasa Belanda sebuah nama jalan seringkali berkaitan dengan tujuan jalan yang dibangun. Contohnya Stasionsweg (Jalan menuju Stasiun)dan Pasarweg (Jalan menuju pasar).
Terkadang kata Oliver, penamaan jalan tidak berhubungan dengan kadaaan sekelilingnya, seperti kata Hoffdweg ( jalan utama), Postweg (jalan pos), Grote Straat (jalan berbatu.
Penamaan jalan dengan mengunakan nama tokoh atau seseorang yang dianggap berjasa sangat jarang pada masa itu. Sehingga pengunaan nama tokoh seperti Haji Mashoeri menjadi nama jalan adalah hal yang luar biasa. Sebuah bentuk penghargaan kepada yang telah berjasa menyumbangkan tanah miliknya untuk menjadi jalan tembus yang menghubungkan kawasan pemukiman orang-orang Indo Eropa di Pekalongan.
Meskipun tidak di ketahui kapan nama Mashoeritraat mulai diresmikan pengunaannya, namun peristiwanya tercatat dalam berita koran De Locomotief tanggal 6 Mei 1937. Dalam pemberitaannya koran terbitan Semarang itu menyebut, Hadji Mashoeri pemilik rumah dari Barat hingga ke Timur yang tengah memberikan tanahnya, untuk membangun jalan penghubungan antara Heerenstraat dengan Residenweeg. Sesuai dengan arahan dari Ketua Gemeenteraad atau Dewan Kota Praja, bahwa pembangunan jalan penghubung tersebut, harus memenuhi persyaratan seperti pemasangan paving, drainase, penerangan dan luas jalan. Kondisi Wilayah Residenweg atau yang sekarang Jl. Progo, merupakan pemukiman utama orang Indo Eropa yang menjadi pejabat utama Karesidenan Pekalongan.
Sedangkan jalan Heerenstraat pada masa itu, membentang dari mulai sebelah selatan mulai dari Jalan Imam Bonjol sampai kearah mendekati jalan Jetayu, tentu pada saat itu belum ada jalan tembus lainnya seperti jalan Barito sekarang.
Mashoeristraat lokasinya berada dekat dengan Kandangajamstaat, juga sangat dekat dengan Heerenstraat. Sejumlah perjabat atau pengusaha yang tinggal dekat dangan Mashoeristraat adalah rumah dinas Komisaris Polisi R.Ating Nata di Koesoema, rumah milik pembatik Belanda Elliza Charlotte Van Zuylen, rumah pembatik Ny.Simonet dan beberapa pejabat Karesidenan lainnya.
Tidak di ketahui sejak kapan Pemerintah Kota Praja Pekalongan, mulai melakukan perubahan beberapa nama dari nama-nama dalam bahasa Belanda menjadi pahlawan atau tokoh nasional, nama pulau, sungai dllnya. Termasuk perubahan dari Mashoeristraat menjadi jalan Serayu, sepertinya kita tidak mempunyai dokumen tentang asal-usul wilayah kita sendiri. Sehingga yang memegang kebijakan untuk merubahan nama jalan, tidak mengetahui siapa sebenarnya Haji Mashoeri.
Siapakah Haji Mashuri ?
Dari data keluarga berdasarkan informasi dari Mas Didik & Mas Fatchul Azam salah satu canggah atau keturunan ke 4 dari Haji Mashoeri, beliau memiliki 8 orang anak, yaitu 1. Bawon Mashoeri, 2. Chotijah Mashoeri , 3. Fatimah Mashoeri, 4. Abdoel Hadi Mashoeri, 5. Ikhsan Mashoeri, 6. Mawardi Mashoeri, 7. Abdullah Mashoeri , 8. Aminah Mashoeri (mohon maaf apabila tidak sesuai dengan urutannya).
Sementara itu, berdasarkan data pameran tahunan jaman Belanda, Haji Mashoeri tinggal di sekitar Pejagalan, Kergon. Dalam data pameran tersebut, ada 4 saudagar bertempat tinggal di Pejagalan, yang juga turut menjadi peserta yaitu ; H.Dahlan (kebetulan kakek buyut saya), H.Ahmad, H.Sier, H.Moerkasan, & H.Hasan Kaprawie.
Melihat perdagangan batik Pekalongan sejak awal abad XX, perkembangannya menunjukan makin banyaknya batik yang di ekspor melaui Banten. Beberapa orang Indo Eropa juga ikut terjun menekuni dunia batik, mulai J.Toroop, S.W.Ferns, Dunhuyzen, Lien Metzelaar, A.J.F Jans, Christina Van Zuylen, Eliza Van Suylen, Simonet, dllnya.
Mereka memilik usaha batik dari skala kecil hingga perusahaan besar. Pada awalnya batik pedagang hanya memeasan pada perajin batik yang tersebar di desa-desa di sekitar Pekalongan. Namun seiring dengan minat wanita Indo Eropa terjun di dunia batik, membuat nuansa baru dalam corak ragam hias batik Pekalongan, sehingga membuat batik Pekalongan makin diminati berbagai kalangan pada masa itu.
Perkembangan batik juga di dukung kebaradaan etnis Arab dan Tionghoa yang turut memperdagangkan batik sebagai komoditas utama yang menguntungkan. Sedangkan kaum pribumi awalnya hanya menjadi perajin batik saja, dalam perkembangannya mereka telah naik kelas menjadi kaya dan saudagar ternama.
Di bangunnya jaringan tranportasi darat dan jaringan jalan kereta api di wilayah Pantura dan menghubungkan kota-kota di Jawa. Membuat pengangkutan batik ke luar Pekalongan menjadi meningkat. Demikian juga di gelarnya pasar malam atau pameran tahunan di Kota-Kota yang ada di Jawa, membuat banyak orang yang datang dari jauh jadi semakin mengenal seni batik Pekalongan, sehingga otomatis peningkatan perdagangan batik secara signifikan.
Sebagai pedagang batik terkemuka nama Hadji Mashoeri juga tercatat sebagai peserta De eerste Pekalongansche Jaarmarkt Tetoonstelling atau Pameran Tahunan Pekalongan. Pameran yang dikemas seperti pasar malam ini dilaksanakan 1 – 9 September 1923.
Pameran tahunan ini sengaja di gelar oleh Residen Pekalongan Johan Ernest Jasper, untuk meningkatkan daya saing produk lokal dan perekomomian masyarakat. Pada pameran lebih dari sepekan di Alun-Alun Pekalongan tersebut, stan batik milik Hadji Mashoeri menempati urutan 91 dan 144.
Dengan meningkatnya perdagangan batik, otomatis membuat para saudagar seperti batik menjadi semakin bertambah kekayaannya. Maka tidak heran pada masa itu seorang saudagar bisa memiliki lebih dari 5 rumah yang disesuaikan dengan jumlah keluarga mereka, Haji Mashoeri termasuk yang memiki banyak tanah dan rumah. Selain di tanah di Kraton yang digunakan untuk jalan tembus antara Residenweg & Heerenstraat. Konon kabarnya beliau memiliki lebih dari 10 rumah di sekitar Pasaranjarstraat & Kepatianstraat.
Salah satu rumah yang pernah menjadi milik Haji Mashoeri, adalah sebuah rumah dengan arsitektur kuno di Jl.Sulawesi sebelah Selatan Pasar Anyar. Rumah khas juragan batik tersebut memiliki halaman belakang yang cukup luas, yang kemungkinan dulu pernah di gunakan untuk pranggok batik.
Pekalongan Masa Pergerakan
Pada perkembangannya masa awal pergerakan nasional hingga revolusi, Kota Pekalongan menjadi daerah yang sering di kunjungi para tokoh pendiri bangsa Indonesia, seperti Ki Hajar Dewantar, Haji Samanhudi, Haji Oemar Said Cokroaminoto, Oto Iskandar di Nata, Haji Agus Salim, KH.Hasyim Ashari, KH.Ahmad Dahlan, Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Sutan Mansyur, Kartosoewiryo, Semaun, Moch.Roem, Adam Malik, Amir Syarifudin dan lain-lainya. Hal tersebut di karenakan kondisi Pekalongan sudah menjadi daerah yang memiliki kemandirian perekonomian dari masyarakatnya.
Maka tidak heran, pada masa itu Pekalongan sudah bisa melaksanakan even bersejarah skala nasional, yaitu Kongres Muhammadiyah ke 16 di laksanakan di Pekalongan pada 17 – 24 Februari 1927. Menyusul kemudian kongres Partai Syarikat Islam Hindia Timur ke XIV yang di gelar di Pekalongan pada 27 September – 2 Oktober 1927.
Sedangkan pada 7 September 1930, Pekalongan bisa melaksanakan mandatnya sebagai tuan rumah Muktamar Nahdhatul Ulama ke V. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 13 – 14 Juli 1940, Al Irsyad mengelar konggresnya yang ke 26 di Kota Pekalongan. Kemandirian perekonomian pada usaha kecil menengah batik dan tenun secara, tidak langsung mampu menyokong gelaran kongres maupun muktamar di Kota Pekalongan.
Dalam mendukung pelaksanaan even tersebut, banyak sumbangsih dari para saudagar, yang memang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Peran serta para saudagar ini secara sukarela dan sembunyi-sembunyi, karena menurut pandangan mereka ketika beramal tidak mengumbar amalanya di depan publik, sungguh suatu sikap yang luhur.
Sebagai Saudagar kaya raya, pada masa itu, bukan tidak mungkin seorang Haji Mashoeri sering memberikan bantuan, tenaga dan pikirannya kepada para tokoh bergerakan maupun organisasi pergerakan yang mulai tumbuh di Kota Pekalongan. Salah satunya adalah organisasi Nahdlatul Ulama Cabang Pekalongan, bahkan namanya tercatat dalam susunan kepengurusan pertama NU setempat.
Menurut Ayung Notonegoro, dari pemberitaan di majalah bulanan Swara Nahdlatoel Oelama (SNO), bahwa Sabtu, 9 Rabiul Awal 1347 H/ 25 Agustus 1928 M. Dalam kepengurusan NU Cabang Pekalongan yang baru diresmikan, menyebut 4 orang Komisaris yaitu, antara lain Masyhuri Pejagalan, Anbari Kurdi Pesindon, Fadloli Kauman, Muhammad Hadi dan Abdul Latief dari Pesindon.
Pada masa itu banyak organisasi pergerakan yang tumbuh di Pekalongan, seperti Sarekat Islam yang di pimpin oleh tokoh bernama Kadoel. Boedi Oetomo yang pernah dipimpin oleh R.Oto Iskandar di Nata, PNI oleh Kromo Lawie dan beberapa ormas lainnya. Selain itu sejumlah saudagar batik juga terlibat dan berhubungan dengan tokoh-tokoh nasional dalam organisasi maupun mendirikan media.
Salah satunya adalah M.Djarcasie, yang memiliki Batikhandel & Co di Jalan Panjang No.183. Untuk mendirikan penerbitan majalah yang di beri nama Pelita Dagang. Majalah lokal ini merekrut tokoh pers nasional Parada Harahap, untuk menanganinya. Pendirian penerbitan lokal ini, tidak semata-mata untuk kepentingan ekonomi, tetapi secara halus untuk kepentingan politik melawan kolonialisme. (Sutejo K.Widodo, 2005, Ikan layang Terbang Menjulang, hal.80)
Ketenaran Haji Mashoeri saudagar batik pada masa itu dinilai memiliki wibawa untuk menduduki sebagai anggota Dewan Kabupaten atau Regentschapsraad Pekalongan.
Proses pencalonan Hadji Mashoeri, diberitakan koran terbitan Semarang, yaitu De Locomotief, 25 September 1937. Pada halaman ke tiga Koran dari Semarang tesebut, memuat berita pencalonan 5 orang tokoh untuk menjadi Dewan Kabupaten Pekalongan. Ke lima tokoh yang di calonkan tersebut adalah sebagai berikut ;
- M. Tjitrosoewarno, (petugas di Pengadilan Agama Pekalongan).
- M. Kresno, (Hakim yang menangani masalah pertanahan).
- R. Ismangil Koesoamopoetro, (dokter di perkebunan Silowoek, Sawangan, Pielen, distrik Soebah).
- Hadji Mashoeri, pedagang batik Pekalongan.
- Tani Wignjosoemarto, (Guru Pribumi),
- R. M. Soetarko Suriohatmoko,( konsultan pertanian).
Sedangkan keanggotaaan Haji Mashoeri dalam Regentschapsraad Pekalongan, tercatat dalam Almanak voor Nedherland Indie tahun 1938. Regentschapsraad adalah Dewan Daerah Kabupaten yang mulai dicetuskan sejak tahun 1926, pada masa Gubernur Jenderal Dirk Fock, Dewan beranggotakan orang Indo Eropa terutama Belanda dan warga Hindia Belanda.
Sementara itu pada tahun 1936, seorang saudagar batik lainya bernama Haji Mohamad Noer Wirjoadmojo mengumpulkan potensi-potensi lokal dan mengerakan para saudagar lainnya yaitu H.Jarkasie, H.Aqil, & Haji Ali Jahri untuk membentuk sebuah organisasi bernama Batik Bond.
Organisasi ini memiliki tujuan untuk bisa membeli bahan baku dari importir Belanda, mengadakan penjualan batik secara bersama, melepaskan para pengusaha batik bumiputera dari sistem kredit yang memberatkan. Organsisasi inilah kemudian melahirkan wadah bernama koperasi batik di Pekalongan.
Demikian seklumit perjalanan dari seorang saudagar Haji Mashoeri dan saudagar lainnya dalam masa pergerakan. Apa yang bisa kita nikmati sekarang ini, tak bisa lepas dari peran besar mereka pada masa itu. "Sejarah bukanlah beban ingatan, melainkan penerangan jiwa." (John Dalberg-Acton)
(29 April 2022 - Moch.Dirhamsyah – Pegiat Literasi Sejarah Pekalongan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar